Hampir semua ahli kebumian (geologi) melihat fenomena BPJ ini sebagai gejala alam yg dipicu oleh aktifitas manusia. Pembelokan ini menurut beberapa kawan di IAGI (dalam diskusi lewat net) “BUKAN dibelokkan oleh pendapat ahli”. Tetapi proses kecelakaan ini berkembang menjadi sebuah proses bencana alam. Kejadian ini menjadi “DOMINAN” sebagai proses alamnya akhir-akhir ini.
Hampir semua daerah dibawah perut bumi ini memiliki tekanan. Looh apa penyebabnya. Ya gravitasi. Gaya yg diketemukan oleh Newton ketika kejatuhan apel … pluk ! Gaya gravitasi bumi ini menarik benda-benda ke pusat bumi. Besarnya gaya ini tergantung dari densitasnya. Yang memilki densitas besar akan lebih kuat ditarik dibanding yg memiliki densitas (berat-jenis) lebih kecil. Lah, kenapa lumpur ini mecotot keluar ? Karena lumpur ini densitasnya lebih kecil dari densitas batu yg diatasnya. Batuan yg berada diatasnya seolah-olah menjadi beban batuan dibawahnya. Karena batu lempung (lumpur) dibawah sana masih gembur, maka akan sangat mudah mecotot akibat terkena tekanan. Dan karena densitasnya lebih kecil maka batu-lempung ini yang kalah dan mecotot keluar.
Daerah Jawa Timur itu dibawahnya ada yg berupa tanah lumpur gembur (non lithified mud) yang “berpotensi” timbulnya Mud Volkano (MV). Ingat “berpotensi” menimbulkan MV. Kalau didiemkan ya ndak apa-apa. Tetapi mungkin (dugaan, mesti ada praduga tak bersalah nih) karena “diberi” jalan akibat pemboran yg amburadul proses pembentukan MV itu terakselerasi. Seperti kelahiran bayi yg masih prematur yang dipacu oleh dukun dan lahir … prucut !.
Hampir semua daerah dibawah perut bumi ini memiliki tekanan. Looh apa penyebabnya. Ya gravitasi. Gaya yg diketemukan oleh Newton ketika kejatuhan apel … pluk ! Gaya gravitasi bumi ini menarik benda-benda ke pusat bumi. Besarnya gaya ini tergantung dari densitasnya. Yang memilki densitas besar akan lebih kuat ditarik dibanding yg memiliki densitas (berat-jenis) lebih kecil. Lah, kenapa lumpur ini mecotot keluar ? Karena lumpur ini densitasnya lebih kecil dari densitas batu yg diatasnya. Batuan yg berada diatasnya seolah-olah menjadi beban batuan dibawahnya. Karena batu lempung (lumpur) dibawah sana masih gembur, maka akan sangat mudah mecotot akibat terkena tekanan. Dan karena densitasnya lebih kecil maka batu-lempung ini yang kalah dan mecotot keluar.
Daerah Jawa Timur itu dibawahnya ada yg berupa tanah lumpur gembur (non lithified mud) yang “berpotensi” timbulnya Mud Volkano (MV). Ingat “berpotensi” menimbulkan MV. Kalau didiemkan ya ndak apa-apa. Tetapi mungkin (dugaan, mesti ada praduga tak bersalah nih) karena “diberi” jalan akibat pemboran yg amburadul proses pembentukan MV itu terakselerasi. Seperti kelahiran bayi yg masih prematur yang dipacu oleh dukun dan lahir … prucut !.
Kalau bayi lahir mah ditunggu-tunggu lah ini kalau lumpur keluar ya harus dihindari lah. Karena kelahiran lumpur ini merupakan bencana …. Jadi kelahiran bencana ini sangat mungkin karena potensinya diutik-utik, diganggu, di bor dengan tidak memperhitungkan kejadian-kejadian yg berbahaya. Seperti yg aku tuliskan sebelumnya bahwa bencana ini agak sedikit berbeda dengan bencana Chernobyl maupun Exxon-Valdez.
Bencana banjir lumpur ini berbeda dengan bencana pencemaran tumpahan minyak Exxon dengan muntahnya minyak dari kapal tanker Exxon-Valdez pada tahun 1989 dan juga berbeda dengan bencana industri PLTN Chernobyl. Kedua bencana terakhir ini juga sama-sama dipicu oleh kegiatan manusia, namun jumlah bahan polutan, serta semua parameter teknis awalnya sangat “terukur”. Kita tahu jumlah minyak mentah yg tumpah sebanyak 11 juta gallon, kita tahu secara teknis berapa bobot mati serta konfigurasi dari kapal Exxon-Valdez. Demikian juga dengan parameter-parameter awal dari Chernobyl, kita tahu jumlah bahan-bakar nuklir yang ada, kita tahu konstruksi bangunan PLTN ini. Dalam hal bencana banjir lumpur lapindo ini, kita berhadapan dengan sebuah bencana alam yg tidak diketahui kondisi teknis awal apa yang ada dan yang terukur dengan pasti. Semua parameter berada dibawah permukaan berupa parameter yg sifatnya interpretatif.
Kesamaannya adalah, efek serta dampak lingkungannya menjadi mencengangkan ketika kita tidak mampu mendeteksi apa yg bakal terjadi selanjutnya. Exxon-Valdez maupun Chernobyl menjadi sebuah kecelakaan yg tidak mampu ditangani oleh manusia, demikian juga keluarnya lumpur dari perut bumi ini.
Kedua contoh kecelakaan diatas menjadi sebuah bencana seolah-olah mirip seperti kejadian bencana banjir lumpur ini –> “ketika tidak dapat dikontrol lagi”, dan banyak pula yang menyetarakan tingkat kebencanaannya (uncontrolled).
Andang Bachtiar mantan ketua IAGI secara tegas menyatakan : “Itu karena data-data dan bukti eksplorasi yang saya terima menunjukkan, apa yang terjadi adalah ‘mud vulcano’ (gunung lumpur) yang dipicu proses pengeboran,” ujarnya usai berbicara dalam simposium tentang pembuangan lumpur Porong di ITS Surabaya, Kamis (7/9) – dikutip dari Tempo interaktif.
Menurut saya :
- Penanganan penyebab –> Industrial Accident (peradilan)Yang bersalah dihukum. Penyidikan dilakukan dengan dasar-dasar scientific approach, karena menyangkut hal-hal tenis. Saya yakin penyidik dari kepolisian sudan belajar teknik pemboran, kan ?
- Penanganan akibat –> Natural Disaster (actions)Membiarkan Lapindo menangani sendiri sama saja menyengsarakan rakyat yg jelas terkena bencana lumpur ini. Lapindo mapun Bakrie sekalipun pasti termehek-mehek menangani luapan lumpur ini. Ada hal-hal tertentu yg hanya diketahui oleh Lapindo, misal data geologi bawah permukaan dimiliki oleh Lapindo. Semua assetnya jangan dibekukan sehingga tidak dapat diakses (
ini bukan accident mode) tetapi semua data dimanfaatkan secara terbuka untuk menangani bencana lumpur.
Hal ini penting juga karena banyak data-data yang menurut ESDM bersifat RAHASIA harus dibuka. ESDM perlu legowo menerbitkan serta membuka data-data ini.